![]() |
Foto : AM (korban TPKS) dan Tim Kuasa Hukum LKBH |
BEKASI || rodajurnalis.com – Seorang perempuan berinisial AM, korban dugaan kekerasan seksual oleh salah satu petinggi Yayasan Unisma Kota Bekasi, akhirnya melaporkan kasusnya ke Polres Metro Bekasi Kota pada Selasa (10/12/2024) sore.
Dalam pelaporan tersebut, korban didampingi oleh tim kuasa hukum dari Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan Bale Perempuan Kota Bekasi, yang juga bertindak sebagai perwakilan dari Komnas Perempuan.
Pendampingan hukum ini diberikan secara gratis sebagai bentuk dukungan terhadap korban untuk mendapatkan keadilan.
Langkah Hukum Setelah Berbagai Upaya Damai Gagal
Langkah hukum diambil AM setelah menerima saran dari Wakil Rektor III Unisma, Abdul Khoir, yang memberikan dorongan melalui pesan di grup percakapan. “Suruh aja lapor banding ke pihak yang berwajib, gak apa-apa, namanya juga cari kepuasan. Cuma itu saran saya,” tulis Abdul Khoir dalam pesan tertanggal 25 November 2024.
Saran tersebut memberi AM keberanian untuk melaporkan kasusnya ke aparat hukum setelah sebelumnya sempat ragu. "Sebelumnya saya malu dan takut meneruskan perkara ini. Tapi saran dari Pak Abdul Khoir memberikan saya keyakinan untuk melapor ke polisi,” ungkap AM.
Dugaan Pelanggaran UU ITE dan TPKS
Dalam laporan yang terdaftar dengan nomor LP/B/2239/XII/2024/SPKT/Polres Metro Bekasi Kota, AM menuduh HR, seorang petinggi Yayasan Unisma, mengirimkan video tidak senonoh pada Juli 2024. Tuntutan hukum terhadap HR didasarkan pada Pasal 27 ayat 1 UU ITE dan Pasal 14 ayat 1(b) UU TPKS.
Bersama laporan tersebut, kuasa hukum AM menyerahkan sejumlah bukti, termasuk pengakuan HR dalam jawaban resmi yayasan terhadap surat yang diajukan oleh Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS).
Somasi dan Mediasi yang Gagal
Sebelum kasus ini dilaporkan ke polisi, AM sempat mengajukan tiga kali somasi melalui kuasa hukumnya dengan harapan tercapainya jalan tengah. Namun, pihak yayasan tidak merespons secara memadai. Alih-alih menyelesaikan masalah, AM justru ditekan untuk menandatangani surat kesepakatan pemutusan hubungan kerja (PHK) yang dianggap tidak adil karena tidak didahului peringatan resmi.
Selain itu, surat PHK tersebut diduga dimanipulasi tanggalnya agar bersamaan dengan waktu pengunduran diri AM, diduga dengan tujuan menghindarkan yayasan dari kewajiban membayar gaji korban.
Harapan Korban untuk Keadilan
Kuasa hukum AM, Agus Pandapotan dari LKBH PWI, mendesak pihak kepolisian untuk segera memproses laporan kliennya. “Kami percaya kepolisian akan bertindak cepat dan profesional dalam menangani kasus ini,” ujar Agus.
Agus juga menegaskan bahwa PWI akan mengawal kasus ini hingga tuntas agar pelaku menerima hukuman yang setimpal jika terbukti bersalah.
Kasus ini menjadi perhatian publik setelah AM berani mengungkapkan pengalamannya melalui media pada 11 November lalu. Langkah hukum ini diharapkan dapat memberikan keadilan bagi korban dan menjadi peringatan tegas terhadap pelaku kekerasan seksual.***
__________________________________________________
Pewarta : Iwan W