-->

Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan


 

Iklan


 

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Diskursus Kewenangan Penyidikan: Antara Polisi, Jaksa, dan KPK dalam Pembaruan Hukum Pidana

Selasa, 28 Januari 2025 | 18:55 WIB | 0 Views Last Updated 2025-01-28T11:59:56Z
Foto : Prof. Dr. Amir Ilyas, SH. MH.
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar.

JAKARTA || rodajurnalis.com – Pembaruan hukum acara pidana melalui revisi Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 semakin menjadi perhatian publik, terutama dengan hadirnya UU No. 1 Tahun 2023 yang akan mulai berlaku pada 2 Januari 2026. Salah satu isu sentral dalam pembaruan tersebut adalah gagasan untuk menjadikan fungsi penyidikan sebagai kewenangan tunggal institusi Kepolisian.


Wacana ini, meski didukung sebagian pihak, juga memunculkan kekhawatiran di institusi lain, seperti Kejaksaan Republik Indonesia dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).


Bahkan, muncul spekulasi bahwa langkah ini berpotensi mengarah pada penghapusan fungsi penyidikan di Kejaksaan dan KPK, yang selama ini memiliki peran strategis dalam penanganan tindak pidana tertentu, seperti korupsi dan pelanggaran HAM berat.


Kewenangan Penyidikan dalam Diskursus Hukum

Menurut Prof. Dr. Amir Ilyas, SH. MH., Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, gagasan untuk mencabut kewenangan penyidikan dari Kejaksaan bukanlah hal baru. Wacana ini telah muncul sejak lama, bahkan setelah lahirnya UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan.


“Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 28/PUU-V/2007 sebenarnya telah membuka titik terang bahwa konstitusi tidak pernah menyatakan fungsi penyidikan hanya menjadi wewenang tunggal Kepolisian,” jelasnya.


Pasal 30 ayat (5) UUD 1945 dan Pasal 14 UU Kepolisian menjadi dasar hukum bahwa Kepolisian bertugas melakukan penyidikan terhadap tindak pidana. Namun, fungsi penyidikan tertentu yang dimiliki Kejaksaan juga memiliki landasan kuat berdasarkan Pasal 24 ayat (3) UUD 1945.


Hal ini menegaskan bahwa kewenangan penyidikan oleh Kejaksaan tidak bertentangan dengan prinsip diferensiasi fungsional dan pembagian kekuasaan (sharing power).


Perdebatan dan Tantangan

Prof. Amir Ilyas menilai bahwa diskursus mengenai kewenangan penyidikan ini tidak seharusnya menjadi ajang saling menegasikan antar lembaga penegak hukum. Sebaliknya, perlu ada sinergi untuk menegakkan hukum berdasarkan kepentingan masyarakat.


“Lahirnya UU KPK dan UU Tipikor bukan dimaksudkan untuk membubarkan institusi lain seperti Kepolisian, melainkan untuk memperkuat semangat reformasi dalam pemberantasan korupsi dan memastikan pembangunan ekonomi berjalan dengan baik,” tegasnya.


Ia juga menyoroti bahwa pengawasan terhadap kewenangan penyidikan menjadi sangat penting untuk mencegah penyalahgunaan wewenang. Keberadaan praperadilan dan mekanisme pengawasan internal merupakan upaya untuk memastikan proses penyidikan berjalan sesuai dengan prinsip keadilan.


Koordinasi dalam Penegakan Hukum

Menurut Prof. Amir, pembaruan KUHAP yang mengusulkan kewenangan penyidikan tunggal untuk Kepolisian dalam tindak pidana umum adalah langkah yang dapat diterima, selama tetap menghormati prinsip koordinasi antar lembaga. Kewenangan penyidikan di Kejaksaan, KPK, dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dalam tindak pidana tertentu juga harus dipertahankan agar sistem penegakan hukum berjalan efektif.


“Selama fungsi koordinatif antar lembaga berjalan dengan baik, tidak ada alasan untuk khawatir bahwa pembagian kewenangan akan mengganggu penegakan hukum pidana,” imbuhnya.


Menjawab Tantangan Zaman

Prof. Amir menegaskan bahwa perkembangan teknologi dan modus kejahatan yang semakin kompleks menuntut adanya adaptasi dalam penegakan hukum. Oleh karena itu, pembaruan hukum pidana harus mencerminkan kebutuhan masyarakat dan mendukung kerja sama yang harmonis antar institusi.


“Kita harus menyadari bahwa hukum sering kali tertatih-tatih mengejar realitas yang terus berkembang. Kerja sama antar penegak hukum adalah kunci untuk menjawab tantangan tersebut,” pungkasnya.***


__________________________________________________

Penulis: Prof. Dr. Amir Ilyas, SH. MH.
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar.

×
Berita Terbaru Update