-->

Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan


 

Iklan


 

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Mahupiki Usulkan Tujuh Poin Masukan dalam Pembahasan RUU KUHAP ke DPR

Senin, 28 Juli 2025 | 07:54 WIB | 0 Views Last Updated 2025-07-28T00:56:25Z
Gambar: (Doc. IMO-Indonesia) 

JAKARTA, rodajurnalis.com – Organisasi Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi (Mahupiki) menyampaikan tujuh poin masukan kepada Komisi III DPR RI dalam rapat dengar pendapat umum terkait pembahasan Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP), yang digelar pada Selasa (22/7/2025).


Ketua Umum Mahupiki, Firman Wijaya, menyatakan pihaknya mendukung penuh penyusunan dan pembaruan RUU KUHAP yang saat ini tengah dibahas legislatif.


Namun, Firman menekankan pentingnya sejumlah perbaikan dalam draf yang ada agar hukum acara pidana lebih menjamin keadilan, efisiensi, dan kepastian hukum.


“RUU KUHAP harus menjadi refleksi dari sistem peradilan pidana yang adil dan modern. Karena itu, Mahupiki mengusulkan tujuh catatan penting,” kata Firman.


Tujuh Poin Usulan Mahupiki:


  1. Batas Waktu Penyelidikan
    Mahupiki menyoroti Pasal 5 RUU KUHAP yang belum mengatur batas waktu penyelidikan. Firman mengusulkan adanya ketetapan waktu maksimal enam bulan untuk proses penyelidikan, guna menghindari ketidakpastian hukum.

  2. Reevaluasi Penyidik Tertentu dan Istilah Penyidik Utama
    Firman menyarankan evaluasi terhadap aturan hukum yang mengatur penyidik tertentu, termasuk kejelasan istilah "Penyidik Utama" yang termuat dalam Pasal 6 ayat (2) RUU KUHAP.

  3. Sinkronisasi Antara Penyidik dan Penuntut Umum
    Pada Pasal 59E, Mahupiki menilai perlunya ruang dialog antara penyidik dan penuntut umum ketika ada perbedaan penilaian terhadap kecukupan bukti. Usulan Mahupiki mencakup penambahan waktu melengkapi berkas perkara dari 14 hari menjadi 60 hari, sekaligus mendorong digelarnya gelar perkara bersama.

  4. Perluasan Kewenangan Praperadilan
    Mahupiki mengusulkan agar objek praperadilan tidak hanya terbatas pada upaya paksa, tetapi juga mencakup pelanggaran terhadap hak-hak tersangka yang dijamin dalam KUHAP. Termohon yang tidak hadir dalam sidang praperadilan dinilai telah melepaskan haknya dan setuju terhadap putusan hakim.

  5. Teori Pembuktian dalam Praperadilan dan Persidangan
    Firman menjelaskan perlunya diferensiasi antara teori pembuktian dalam praperadilan dan sidang pidana. Ia menyarankan praperadilan menggunakan teori pembuktian positif (positief wettelijk bewijstheorie), sedangkan persidangan tetap menggunakan teori pembuktian negatif (negatief wettelijk bewijstheorie) sebagaimana diatur dalam UU.

  6. Rekonstruksi Pasal 183 KUHAP
    Mahupiki menyoroti hilangnya Pasal 183 dalam draf RUU KUHAP. Firman menegaskan perlunya rekonstruksi norma tersebut untuk menegaskan bahwa keyakinan hakim harus dibentuk dari minimal dua alat bukti yang sah.

  7. Ketentuan Peralihan dan Kesiapan Regulasi Turunan
    Dalam Pasal 327 dan 328, Mahupiki meminta DPR menetapkan masa transisi yang realistis karena terdapat 18 Peraturan Pemerintah (PP) yang harus diterbitkan agar KUHAP bisa diterapkan secara efektif.


Selain tujuh poin tersebut, Mahupiki juga menyoroti pentingnya penataan kembali kaidah pembuktian, khususnya dalam menghadapi perkembangan teknologi digital. Menurut Firman, bukti digital masih menjadi perdebatan apakah hanya bersifat sebagai petunjuk atau dapat berdiri sebagai alat bukti kuat.


“Pembaruan KUHAP ini harus merespons perkembangan zaman, termasuk kemajuan teknologi dan kebutuhan sistem hukum yang lebih adaptif,” tutup Firman.***


_____________________________________________________

Sumber: IMO-Indonesia

×
Berita Terbaru Update