-->

Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan


 

Iklan


 

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Ironis, Warga Tanpa Tanah yang Sudah 40 Tahun Tinggal di Lahan "Tak Bertuan" Diserang Preman Suruhan PT. DSS

Jumat, 20 Desember 2024 | 19:03 WIB | 0 Views Last Updated 2024-12-20T12:04:24Z
Foto : (DOC. FPWI) Sekelompok preman yang mengaku suruhan David, yang disebut sebagai perwakilan PT. DSS,

JAKARTA || rodajurnalis.com – Nasib tragis menimpa sejumlah warga yang telah tinggal puluhan tahun di tanah yang mereka anggap sebagai tempat tinggal mereka. Mereka telah menempati lahan yang terletak di samping Pusbekang TNI AD di Cakung, Jakarta Timur, sejak tahun 1984.


Lahan tersebut mereka tempati tanpa klaim hak kepemilikan dari pihak manapun, hanya dengan surat keterangan sporadik dari RT dan RW setempat. Namun, kondisi ini berubah drastis ketika perusahaan PT. Dian Swastatika Sentosa (DSS) Jakarta Pusat mengklaim bahwa lahan tersebut adalah milik mereka.


Pada Kamis, 19 Desember 2024, sekitar pukul 10.00 WIB, sekelompok preman yang mengaku disuruh oleh David, yang disebut sebagai perwakilan PT. DSS, menyerang dan menghancurkan rumah-rumah warga.


Warga yang berusaha membela rumah mereka dilempari batu dan mengalami luka-luka di bagian kepala, tangan, dan tubuh. Kejadian ini terjadi di depan mata aparat kepolisian dan TNI, yang seolah hanya menyaksikan tindakan anarkis ini tanpa mengambil tindakan tegas.


Foto : Warga yang terkena lemparan batu

Abdulloh, salah seorang warga yang tinggal di lahan tersebut, mengungkapkan kekecewaannya kepada wartawan.


"Kami sudah tinggal di sini sejak 1984, dan tanah ini selalu diketahui oleh RT 02 RW 05, yang juga tembusan dari Lurah Rorotan, Cilincing, Jakarta Utara.


Tidak pernah ada klaim tanah ini oleh siapapun, hingga tiba-tiba pada 2022, David datang mengaku sebagai perwakilan PT. DSS dan mengklaim tanah ini milik mereka," ungkap Abdulloh.


Lebih lanjut, Abdulloh menceritakan bahwa meskipun pihak kelurahan telah mencoba untuk memediasi, PT. DSS tidak mampu menunjukkan surat-surat kepemilikan yang sah atas tanah tersebut.


Bahkan, PT. DSS pernah mencoba untuk memagar lahan itu, namun warga merasa tanah itu bukan milik mereka dan bukan milik PT. DSS, karena mereka telah merawat dan menghuninya selama puluhan tahun.


"Waktu itu PT. DSS melaporkan saya ke Polsek Cilincing, namun karena mereka tidak memiliki bukti hak atas tanah tersebut, kasus ini dihentikan," kata Abdulloh.


Salah seorang warga lain, Hj. Aminah, yang juga menjadi korban dari serangan tersebut, menyatakan kekecewaannya terhadap perlakuan yang diterima.

"Rumah kami dihancurkan dengan cara yang sangat brutal. Mereka melempari kami dengan batu, seperti kami bukan manusia. Preman-preman ini menari-nari sambil bertelanjang dada, menantang kami. Sementara aparat kepolisian hanya diam dan tidak melakukan apa-apa," ujarnya dengan emosi yang terbendung.


Kementerian Agraria dan Tata Ruang diminta untuk segera turun tangan dalam menyelesaikan sengketa tanah ini.


Pemerintah, melalui regulasi seperti PP No. 20 Tahun 2021 dan PP No. 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar, sudah menetapkan bahwa tanah yang dibiarkan terlantar dapat menghapuskan hak kepemilikan seseorang. Hal ini sejalan dengan semangat Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yang mengatur hak atas tanah.


Ketua Umum Forum Penulis dan Wartawan Indonesia (FPWI), Rukmana, S.Pd.I, turut angkat bicara mengenai masalah ini.


"Banyak kasus sengketa tanah yang dibawa ke pengadilan setelah diberlakukannya UUPA. Namun, sangat penting untuk memilih pengadilan yang tepat. Sengketa kepemilikan tanah adalah wewenang peradilan umum," ujar Rukmana, yang mengutip sejumlah yurisprudensi Mahkamah Agung terkait masalah ini.


Lebih lanjut, Rukmana menegaskan bahwa tindakan kekerasan yang dilakukan oleh preman atas perintah PT. DSS merupakan pelanggaran terhadap hukum dan hak asasi manusia (HAM).


"Tindakan brutal seperti ini harus ditindak tegas oleh aparat penegak hukum. Negara hukum harus menjaga keadilan bagi masyarakat, dan tidak membiarkan kesan bahwa aparat berpihak pada perusahaan," tandas Rukmana.


Peristiwa ini menyisakan banyak pertanyaan mengenai perlindungan hak-hak warga atas tanah yang telah mereka tempati selama puluhan tahun.


Dengan adanya tindakan kekerasan dan pengabaian oleh pihak berwenang, masyarakat berharap agar keadilan segera ditegakkan dan mereka dapat kembali hidup dengan rasa aman di tanah yang mereka anggap sebagai rumah mereka.***(red)


__________________________________________________

Sumber : DPP FPWI 

×
Berita Terbaru Update