• Jelajahi

    Copyright © Roda Jurnalis
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Iklan

    Trikotomi Analisis Semiotik Puisi Pulo Lasman Simanjuntak

    Redaksi
    Selasa, 11 Februari 2025, 21:28 WIB Last Updated 2025-02-11T14:31:36Z
    masukkan script iklan disini
    masukkan script iklan disini
    Foto : Narudin Pituin, Kritikus Sastra dan Ahli Semiotika. (Doc. Ist/Kir/Lasman)

    Puisi

    Pulo Lasman Simanjuntak


    SEPI KAPAN MENCAIR

    sunyi merayap
    sepi tiarap
    hening berharap
    hidup nyaris kiamat


    aku bertanya lagi,
    tetapi pertanyaanku yang membeku
    membentur jidat para pejabat
    tak mau lagi berjabat erat


    ketika berita kusebar
    makin berkarat
    ketika siaran kudendangkan
    makin melarat


    dengarlah,
    oi, para pewarta
    oi, para pujangga
    di ujung otot usia menua
    di muara ibu negeri
    hijrah tumpah ruah


    sepi
    kapan mencair
    akankah sampai
    tiba
    nyawa kita turun ke liang bumi
    orang-orang mati
    tak punya lagi
    pengharapan
    kepastian


    Jakarta, Rabu, 31 Januari 2024




    Analisis Semiotik

    Oleh : Narudin Pituin
    Sastrawan, Penerjemah, dan Kritikus


    Dalam buku saya, Sintesemiotik: Teori dan Praktik (2023), saya menguraikan konsep trikotomi analisis semiotik, sebuah alternatif dalam kritik puisi yang berangkat dari metode Analisis Wacana Kritis (Critical Discourse Analysis - CDA).


    Metode ini terdiri dari tiga tahap:

    1. Analisis sintaksis → Menelaah struktur kata dan kalimat.
    2. Analisis semantik → Menggali makna kata dan hubungan maknanya.
    3. Analisis pragmatik → Mengamati makna dalam konteks sosial dan komunikasi.


    Untuk lebih memahami teori ini secara mendalam, silakan merujuk ke buku saya.


    Analisis Puisi "Sepi Kapan Mencair"

    1. Analisis Sintaksis

    Judul puisi ini menggunakan inversi (pembalikan kata). Jika dalam bentuk pertanyaan, seharusnya ditulis: "Kapan sepi mencair?" Namun, Pulo Lasman Simanjuntak memilih menyusunnya secara berbeda, tanpa tanda tanya.


    Pada bait pertama:

    sunyi merayap
    sepi tiarap
    hening berharap
    hidup nyaris kiamat


    Struktur kalimatnya tertib dengan subjek dan predikat yang jelas. Ada gaya bahasa personifikasi, di mana "sunyi" bisa merayap, "sepi" bisa tiarap, dan "hening" bisa berharap.


    Baris "hidup nyaris kiamat" bisa dibaca sebagai penegasan atau bahkan negasi dari baris-baris sebelumnya. Pengulangan bunyi p dalam "sepi", "tiarap", dan "harap" menciptakan efek fonetik yang memberi kesan pengap, tertahan, seperti keadaan yang mendesak.


    2. Analisis Semantik

    Pada bait kedua:

    aku bertanya lagi,
    tetapi pertanyaanku yang membeku
    membentur jidat para pejabat
    tak mau lagi berjabat erat


    Secara makna, mengapa tiba-tiba muncul "pejabat" yang "tak mau lagi berjabat erat"? Penyair tidak memberikan penjelasan eksplisit, sehingga pembaca dipaksa mencari jawaban di bait selanjutnya.


    Pada bait ketiga:

    ketika berita kusebar
    makin berkarat
    ketika siaran kudendangkan
    makin melarat


    Kata-kata "berkarat" dan "melarat" mengisyaratkan situasi yang memburuk, namun tidak disebutkan siapa yang mengalami kerugian. Subjek dalam puisi ini kompleks, sehingga menuntut pembacaan yang cermat.


    Bait keempat memuat seruan:

    dengarlah,
    oi, para pewarta
    oi, para pujangga


    Penggunaan kata seru "oi" menarik perhatian. Secara fonetik, kata ini terdengar lebih lugas dibandingkan "woi", yang biasanya memiliki nada lebih kasar. Penyair seperti sedang mengkritik dirinya sendiri sebagai pewarta sekaligus pujangga.


    Pada baris:

    di muara ibu negeri
    hijrah tumpah ruah


    Makna "hijrah tumpah ruah" sulit diterka karena "hijrah" (perpindahan) biasanya tidak dihubungkan dengan "tumpah ruah". Penyair tampaknya sengaja menyamarkan subjek, membuat makna lebih terbuka bagi interpretasi pembaca.


    3. Analisis Pragmatik


    Pada bait terakhir:


    sepi
    kapan mencair
    akankah sampai
    tiba
    nyawa kita turun ke liang bumi
    orang-orang mati
    tak punya lagi
    pengharapan
    kepastian


    Pertanyaan "sepi kapan mencair?" terasa metaforis dan bersifat personal. Ada kemungkinan penyair menyuarakan kegelisahan tentang kondisi sosial yang stagnan.


    Jika pejabat dalam puisi ini ditegur, mungkin lirik "aku" tengah meminta mereka berbuat sesuatu untuk memperbaiki keadaan. Puisi ini seperti sebuah keluhan dari penyair yang merasa menjadi satu-satunya rakyat yang terhimpit oleh ketidakadilan.


    Kesimpulan

    Pulo Lasman Simanjuntak adalah penyair yang gemar mengutak-atik metafora. Namun, seperti yang disarankan Semiotikus Roman Jakobson, pemilihan kata harus seimbang dengan struktur yang cermat agar pesannya lebih kuat.


    Meskipun dalam puisi ini "sepi" tak kunjung mencair, semoga setidaknya kita sebagai pembaca dapat "mencair" melalui analisis ini.***(red)




    Komentar

    Tampilkan

    Terkini