• Jelajahi

    Copyright © Roda Jurnalis
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Iklan

    Teknologi AI dan Tantangannya dalam Karya Sastra: Perspektif Para Sastrawan dan Akademisi

    Redaksi
    Selasa, 21 Januari 2025, 07:05 WIB Last Updated 2025-01-21T00:06:36Z
    masukkan script iklan disini
    masukkan script iklan disini
    Foto : Penyair dan Sastrawan Nanang R Supriyatin yang sering tampil  sebagai moderator dan protokol (MC) acara dan pentas seni & sastra khususnya di area Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB.Jassin, Pusat Kesenian Jakarta (PKJ) di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta. (Doc. Ist/Kir/Lasman Simanjuntak)

    JAKARTA || rodajurnalis.com – Teknologi kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) semakin marak dimanfaatkan di berbagai bidang, termasuk dalam proses kreatif menulis karya sastra. Meski diakui memiliki kelebihan, AI juga menuai kritik, terutama terkait etika, akurasi data, dan kualitas "rasa" dalam karya sastra. Hal ini menjadi sorotan sejumlah sastrawan dan akademisi dalam diskusi yang berlangsung di Jakarta, Senin (20/1/2025).


    Prof. Dr. Wahyu Wibowo, dosen Bahasa Filsafat di Fakultas Bahasa dan Sastra Universitas Nasional (UNAS), menegaskan bahwa AI tidak memiliki nilai etika. "Meskipun dianggap cerdas, AI tidak memiliki nilai-nilai etika. Dalam konteks budaya, nilai etika itu berbeda-beda. Tidak mungkin kehidupan manusia diseragamkan oleh AI," ujar Prof. Wahyu.


    Ia mencontohkan perbedaan pandangan budaya terhadap istilah "pembunuhan". "Ada budaya yang melihatnya sebagai hal biasa, sementara budaya lain memaknainya melalui sudut pandang antropologis, lengkap dengan ritual tertentu," jelasnya.


    Prof. Wahyu juga mengkritisi penggunaan AI dalam menilai karya sastra. Menurutnya, tanggung jawab utama para dosen sastra adalah mendorong mahasiswa untuk berpikir kritis, bukan semata-mata mengandalkan teknologi. "Kritikus sastra yang memanfaatkan AI menunjukkan kurangnya rasa percaya diri," tegasnya.


    Keterbatasan AI dalam Karya Sastra

    Penyair Giyanto Subagio, yang akrab disapa Bung Edo, juga menyoroti keterbatasan AI, terutama dalam pembaruan data. "AI memiliki keterbatasan dalam memperbarui kosa kata dan bank naskah sastra. Teknologi ini hanya memiliki data hingga tahun 2023, sementara perkembangan terbaru di tahun 2024 tidak tercakup," ungkap Bung Edo.


    Ia juga mengkritik hasil karya sastra yang dihasilkan oleh AI karena kurangnya "rasa". "Bahasa yang dihasilkan oleh AI terasa kering, tanpa roh dan nyawa. Karya sastra membutuhkan sentuhan manusia yang mengedepankan akal budi dan perasaan," tambahnya.


    Bung Edo menyebut, generasi muda, khususnya Gen Z, sering kali memanfaatkan AI dalam proses kreatif mereka. Namun, ia menyayangkan bahwa banyak dari mereka yang tidak lagi menjunjung tinggi idealisme dan kejujuran dalam berkarya. "Gen Z sering menjadi 'joki' atau menerima pesanan berbayar untuk menulis karya sastra. Ini memprihatinkan," ujarnya.

    Foto : Prof.Dr.Wahyu Wibowo, Dosen Mata Kuliah Bahasa Filsafat di Fakultas Bahasa dan Sastra di Universitas Nasional (UNAS) Jakarta. (Doc. Ist/Kir/Lasman Simanjuntak)

    AI Sebagai "Casing" Teknologi

    Pandangan serupa disampaikan oleh penyair dan sastrawan Nanang R. Supriyatin. Menurutnya, AI hanyalah pelengkap teknologi yang dapat dimanfaatkan atau tidak. "AI itu seperti 'casing'. Kehadirannya tidak akan mengancam kreativitas penyair sejati yang mengandalkan pengalaman, akal budi, dan nalar," katanya.


    Nanang juga menekankan pentingnya idealisme dalam berkarya. "Penyair harus memiliki jiwa baja dan tidak mudah terkecoh dengan teknologi yang serba praktis. Dalam kritik sastra, referensi yang kuat dan pemikiran kritis jauh lebih penting daripada sekadar mengandalkan AI," imbuhnya.


    Meski mengkritik AI, Nanang mengakui bahwa teknologi ini memiliki kelebihan dalam hal kecepatan. "AI dapat menjawab pertanyaan dalam hitungan detik dan memberikan kemungkinan yang tidak terpikirkan oleh manusia. Namun, referensinya sering kali tidak akurat dan cenderung menyesatkan," jelasnya.


    AI dan Generasi Z

    Menanggapi pandangan bahwa generasi Z lebih sering mengandalkan AI dalam berkarya, Nanang menilai tidak semuanya demikian. "Masih ada Gen Z yang menulis dengan baik karena mereka membaca karya-karya sastra yang berkualitas. Namun, kehadiran AI bagi mereka hanyalah lintasan sejarah yang tidak akan menggantikan proses kreatif yang sesungguhnya," katanya.


    Ia juga menyoroti fenomena "ghost writer" yang semakin marak. "Orang-orang memanfaatkan ghost writer karena malas membaca dan berpikir. Ini menghambat proses kreatif generasi muda," pungkasnya.

    Foto : Penyair Giyanto Subagio atau dikenal dengan nama Bung Edo adalah seorang penyair muda yang sering tampil baca puisi khususnya di Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB.Jassin, Pusat Kesenian Jakarta (PKJ) Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta. (Doc. Ist/Kir/Lasman Simanjuntak)

    AI sebagai Alat, Bukan Pengganti

    Terlepas dari kontroversi yang ada, AI diakui memiliki potensi untuk membantu manusia dalam berbagai tugas, seperti memecahkan masalah, mengenali gambar, dan membuat prediksi. Namun, bagi para sastrawan dan akademisi, AI hanyalah alat yang tidak bisa menggantikan sentuhan manusia dalam karya sastra.


    "Pendatang baru bernama teknologi pasti memiliki kelebihan dan kelemahan. Namun, tugas kita sebagai sastrawan adalah mengedukasi generasi muda tentang pentingnya integritas dan nilai-nilai kreatif dalam berkarya," tutup Nanang.


    Teknologi AI di Indonesia mulai diperkenalkan pada tahun 2010 dan terus berkembang hingga saat ini. Namun, tantangan etika dan kualitas data menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan agar teknologi ini benar-benar bermanfaat tanpa mengesampingkan nilai-nilai manusiawi. (red)


    __________________________________________________

    Kontributor: Lasman Simanjuntak

    Komentar

    Tampilkan

    Terkini