![]() |
Foto : Sejarah pemerintahan Sultan Agung (1613 - 1646) di lanjut dengan keturunan Sunan Tembayat. |
BLITAR, rodajurnalis.com – Pada masa pemerintahan Sultan Agung (1613–1646), sejarah mencatat dinamika hubungan yang kompleks dengan keturunan Sunan Tembayat. Ketegangan memuncak setelah kegagalan ekspedisi militer ke Batavia tahun 1628–1629. Kekecewaan atas kerugian besar yang ditimbulkan menyebabkan sebagian keturunan Sunan Tembayat menarik diri dari kekuasaan Mataram dan memilih bernaung di bawah Giri Kedaton.
Namun, tiga tahun kemudian, Sultan Agung mengambil langkah rekonsiliasi dengan merenovasi makam Sunan Tembayat di Klaten. Renovasi ini dilakukan melalui prosesi simbolik yang sakral: 300.000 warga Mataram duduk bersila menyampaikan bahan bangunan dari Keraton hingga makam secara estafet. Aksi tersebut bukan hanya pembangunan fisik, tetapi juga pemulihan spiritual dan kehormatan terhadap ulama besar.
Pada kesempatan yang sama, Sultan Agung meluncurkan Kalender Jawa—sistem penanggalan baru yang menyatukan unsur Islam Hijriyah dan tradisi Saka Hindu-Jawa. Kalender ini disusun agar bisa diterima oleh masyarakat pesantren maupun kalangan kejawen. Nama bulan dan hari diambil dari bahasa Arab, namun hari pasaran dan siklus tahunan dari tradisi lama tetap dipertahankan.
Gus Hairi Mustofa: Kalender Jawa dan Peringatan Satu Muharram
Dalam wawancaranya, Gus Hairi Mustofa, pemangku Padhepokan Pusaka Sunan Tembayat di Srengat, Blitar dan sebagai salah satu keturunan trah Tambayat, mengungkapkan pandangannya:
“Kalender Jawa warisan Sultan Agung bukan sekadar sistem waktu, tapi jalan tengah antara nalar budaya dan syariat. Ini bukti bahwa Islam Nusantara memang bisa merangkul kearifan lokal dengan tetap menjaga esensi agama.”
Gus Hairi menilai, penggunaan kalender Jawa justru memperkuat identitas spiritual masyarakat pesantren. Penanggalan ini dianggap selaras dengan ritme kehidupan masyarakat desa yang dekat dengan tradisi dan alam.
Setiap 1 Suro (Muharram), Padhepokan yang beliau asuh rutin mengadakan ziarah ke makam Sunan Tembayat di Klaten. Rombongan besar dari Blitar berangkat untuk menyambung silaturahmi spiritual dengan leluhur. Bagi Gus Hairi, momen tahun baru Islam adalah waktu yang tepat untuk merenung, berdoa, dan menyegarkan niat hidup dalam cahaya perjuangan para wali dan ulama terdahulu.
_“1 Muharram itu bukan euforia, tapi momentum hijrah batin. Kita belajar dari jejak leluhur, terutama Sunan Tembayat, bahwa perjuangan menebar cahaya Islam itu harus sabar, teguh, dan tetap cinta damai.” ***(red)
_____________________________________________________
Sumber : Padhepokan Pusaka Sunan Tembayat Blitar